Kasus Prita Mulyasari tentang pencemaran nama baik dari pihak rumah sakit dan dokter yang bersangkutan
Contoh
Kasus
Kasus
pencemaran nama baik RS. Omni Internasional dengan Prita Mulyasari. Prita
Mulyasari adalah seorang ibu dua anak yang tadinya hidup biasa-biasa saja,
kemudian sontak menjadi terkenal hanya gara-gara mengeluhkan pelayanan Rumah
Sakit Omni Internasional yang berlokasi di kawasan Tangerang, Banten pada 7
Agustus 2008.
Karena
merasa tidak puas dengan perlakuan yang diterima selama dirawat di rumah sakit
tersebut, Prita menuliskan keluhannya ini ke dalam email yang kemudian dikirim
ke beberapa orang temannya.
Berikut
adalah kutipan isi surat yang ditulis oleh Prita.
RS
OMNI DAPATKAN PASIEN DARI HASIL LAB FIKTIF
Jangan
sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila
anda berobat berhati-hatilah dengan
kemewahan rumah sakit (RS) dan title international
karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan
obat, dan suntikan.
Saya
tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di
RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus
2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional
dengan percaya bahwa RS
tersebut
berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen
yang bagus.
Saya
diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah
trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan
ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan
lab ulang dengan sample
darah
saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr
I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi
darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H
memeriksa kondisi saya dan saya
menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai
malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga
pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan
bahwa ada revisi hasil lab semalam.
Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H
terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan
yang saya tidak tahu dan tanpa
izin pasien atau keluarga pasien.
Saya
tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam
bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2
anak yang masih batita. Jadi saya
lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan
saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional
standard Internatonal.
Mulai
Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada
keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan
jawaban yang memuaskan.
Lebih
terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu
boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan
disertai banyak ampul.
Tangan
kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu
dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai
saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang
dokter pengganti yang saya juga
tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya
dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa
suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan
saya kena virus udara. Saya tanyakan
berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap
virus udara. Saya dipasangkan kembali
infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya
saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15
menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi
malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami
pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya
dan menolak dilakukan
suntikan
dan obat-obatan.
Esoknya
saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru
datang malam hari. Suami dan kakak-kakak
saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000
menjadi revisi 181.000 dan serangan
sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan
membengkaknya leher kiri dan mata
kiri.
dr
H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan
instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus
kembali. Kami berdebat
mengenai
kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang
pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak
bisa memberikan keterangan yang
memuaskan.
Keesokannya
kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi
39 derajat. Namun, saya tetap
tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan
data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis
yang fiktif.
Dalam
catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu
kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu
hasil lab yang diberikan adalah
hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya
ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil
lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat
itu adalah dr M dan setelah saya
komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut
ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang
memegang hasil lab tersebut.
Saya
mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service
Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran
bukan komplain. Saya
benar-benar
dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke
customer melainkan seperti mencemooh
tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam
kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service
Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager)
dan diminta memberikan keterangan
kembali mengenai kejadian yang
terjadi dengan saya.
Saya
benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil
lab awal saya adalah 27.000 bukan
181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke
RS ini padahal dengan
kondisi
thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan
dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali.
Tidak menanggapi komplain dengan
baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan
ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa
dilakukan dengan alasan akan dirundingkan
ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah
itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan
isolasi karena virus saya ini menular. Menurut
analisa ini adalah sakitnya anak-anak
yaitu sakit gondongan
namun
sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi
impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya
lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya
dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis
tinggi sehingga mengalami sesak
napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak
kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami
saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah
dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang
langsung ke rumah saya.
Keesokan
paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni
memberikan surat tersebut.
Saya
telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya
baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum
ada juga yang datang ke
rumah
saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda
terima atas nama Rukiah.
Ini
benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah.
Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan
waktu yang lama. Logkanya dalam
tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut
Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan
nyawa orang.
Terutama
dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan
standard international yang RS ini cantum. Saya bilang ke dr G, akan
datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi
suratnya sungguh membuat sakit hati
kami.
Pihak
manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan
mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan
diberikan suntikan yang
mengakibatkan
kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa
saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa
sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien
rawat inap.
Dan
setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya
27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada
suntikan dan sesak napas dan
kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya
dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya
RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak
memperdulikan efek dari
keserakahan
ini.
Sdr
Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan
suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan
kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur
Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya
robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya
tidak tahan dan ini
membutuhkan
waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap
kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa
manusia dipermainkan oleh sebuah
RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga
Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali
bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang
tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak
terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya
sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau
Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai
pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya
demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak
mengatakan RSCM buruk tapi lebih
hati-hati dengan perawatan medis
dari dokter ini.
Salam,
Prita Mulyasari
Prita Mulyasari
Alam
Sutera
Email
tersebut kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat
bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta
mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana dengan
tuduhan pencemaran nama baik. Sebagai reaksi atas email komplain Ibu Prita
Mulyasari, RS Omni Internasional mengajukan gugatan dengan perkara pencemaran
nama baik kepada Pengadilan Negeri Tangerang. Kasus Ibu Prita tersebut
mengundang berbagai reaksi pro dan kontra masyarakat dan beberapa pendapat
praktisi hukum secara terpisah.
2.3 Pemecahan Kasus
RS Omni Internasional
Alam Sutra merasa nama baik rumah sakit dan dokter bersangkutan tercemar.
Sehingga komplain dan curahaan hati Ibu Prita Mulyasari berbuntut panjang di
sidang pengadilan negeri Tangerang. Pada 29 Desember 2009
silam, Majelis Hakim PN Tangerang memutuskan bebas Prita Mulyasari dari tuntutan
jaksa 6 bulan penjara. Alasan utama membebaskan Prita karena unsur
dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti. Ketua Majelis Hakim Arthur Hangewa
saat itu menilai, unsur pencemaran nama baik yang didakwakan jaksa kepada Prita,
dinilai tidak tepat. Sebab, kata Arthur e-mail yang dikirim Prita yang kemudian
menjadi dasar pengaduan pencemaran nama baik oleh RS Omni hanyalah surat
keluhan seorang pasien.
Namun
Omni tak terima atas putusan itu dan kembali mengajukan kasasi – kali ini
secara pidana. Pada akhir Juni 2011, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi
Jaksa atas kasus Prita Mulyasari sehingga diputus bersalah karena menyebarkan
rasa ketidakpuasannya terhadap layanan RS Omni International, Alam Sutera,
Tangerang melalui surat elektronik yang akhirnya diterima ke ribuan orang.
Mahkamah Agung
memenangkan jaksa di tingkat Kasasi. Di sisi lain, untuk kasus perdatanya,
Mahkamah Agung memenangkan perdata Prita Mulyasari melawan RS Omni
International. Dengan keluarnya vonis tersebut Prita Mulyasari dibebaskan dari
seluruh ganti rugi, hakim Pengadilan Tinggi Banten sebelumnya mewajibkan Prita
Mulyasari membayar uang denda sebesar Rp.204 juta kepada RS Omni Internasional.
Kasus Prita menjadi keprihatinan publik sehingga melahirkan gerakan koin untuk
Prita dan berhasil mengumpulkan uang senilai Rp.800 juta.Adanya perbedaan
putusan antara perdata yang menyatakan Prita tidak bersalah, namun kasasi
MA mengganjar Prita dengan pidana 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun
karena melakukan tindak pidana UU ITE.Prita atau kuasa hukumnya sudah menerima
salinan putusan Mahkamah Agung, ini menjadi perhatian karena Mahkamah Agung
masih tetap lamban dalam mempublikasikan putusannya
Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27
ayat 3 Undang-Undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi
Elektronik karena akan mengancam kebebasan berekspresi.Beberapa aliansi menilai
bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan
multiinterpretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan
tetapi juga penyebar dan para moderator milis maupun individu yang melakukan
forward ke alamat tertentu.
Lebih lanjut, Departemen Komunikasi dan Informatika menegaskan bahwa tindakan
Prita Mulyasari yang menyampaikan keluhan atas jasa sebuah layanan publik
bukanlah merupakan penghinaan. Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo,
Gatot S Dewa Broto, di Jakarta, Prita yang mengungkapkan keluhan terhadap suatu
layanan publik melalui email merupakan hak dari seorang konsumen. Menurut dia,
hal itu adalah sah sesuai dengan yang termuat dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4 huruf d. Pasal itu berbunyi:
“Hak
konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan.”
Oleh karena itu,
menanggapi UU pasal 27 ayat 3 UU ITE unsur `tanpa hak` sebagaimana dimaksud di
dalamnya menjadi tidak terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak
bisa diterapkan untuk kasus ini. Lebih lanjut, Gatot mengungkapkan bahwa pasal
tersebut memuat unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak”, yang mana unsur
tersebut menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana berdasarkan pasal
ini.Akhirnya keputusan MA (Mahkamah Agung) Senin 17 September 2012 membebaskan
Prita Mulyasari. pidana 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun karena
melakukan tindak pidana UU ITE Putusan bebas didapat Prita setelah ia
mengajukan Peninjauan Kembali secara pidana kepada MA.
2.4 Aspek Hukum
1. Model
Ketentuan Payung ( Umbrella Provisions)
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan
sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I
KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318
KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara
umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1),Pasal 315, Pasal 317 ayat (1)
dan Pasal 318 ayat (1) KUHP yang menyebutkan :
Pasal 310
(1) Barangsiapa
sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia
melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan
itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
(2) Kalau
hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,dipertunjukan pada
umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan
tulisan dengan hukuman penjara Sie Infokum – Ditama
Binbangkum 3 selama-lamanya satu tahun
empat bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-.
(3) Tidak
termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa sipembuat
melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk
mempertahankan dirinya sendiri.
Pasal 311 ayat (1)
Barangsiapa melakukan
kejahatan menista atau menista dengan tulisan,dalam hal ia diizinkan untuk
membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar,
dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat
tahun.
Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan
sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan
kepada seseorang baik ditempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun
dihadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun
dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena
penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
Pasal 317 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja
memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang
palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama
baik orang itu jadi tersinggung,maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah,
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 318 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja
dengan melakukan sesuatu perbuatan,menyebabkan orang lain dengan palsu
tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena
tuduhan memfitnah,dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
2. Model Triangle
Regulations
UU No. 11 Tahun
2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang dalam Pasal 27
ayat [3] UU ITE menyatakan:
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa
hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Kemudian dalam Pasal 45 ayat (1)
UU ITE ditentukan bahwa:
“Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Kesimpulan
Etika media merupakan
aturan-aturan moral bagi para pengguna teknologi komunikasi dalam berbagai
situasi apakah diatur ataupun tidak diatur dalam hukum formal atau
kebijakan-kebijakan.Yang sering dilupakan adalah sebenarnya etika itu tidak
hanya untuk kalangan profesional komunikasi saja. Masyarakat awam harus juga
memperhatikan etika penggunaan teknologi komunikasi agar tidak merugikan
dirinya sendiri maupun berdampak pada merugikan orang lain.Berbagai macam
permasalahan tentang perbuatan tidak menyenangkan sering bermunculan di dunia
maya.
Kasus prita sebagai salah
satu contohnya,curhat lewat email yang berujung pada proses hukum yang begitu
panjang. Beragam perspektif yang terjadi seputar sidang kasus Ibu Prita
Mulyasari versus RS Omni Internasional membentuk publicopinion yang
variatif, beberapa secara penuh mendukung ibu Prita bebas dari segala tuduhan
dan menyalahkan sikap agresif RS Omni Internasional, dan sebaliknya.Dalam
pemecahan kasus di atas sifat hukum informatika atau UU ITE yang masih bersifat
lentur dan belum ada batasan-batasan yang pasti. Begitulah cermin hukum di
Indonesia: tidak transparan, tidak ada supremasi hukum, tidak menerapkan
nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia, melainkan memihak yang kuat dengan
menyingkirkan yang lemah.
Daftar pustaka
a. Budiawan.2009.UU
ITE Kasus Kebebasan Prita Mulyasari, Juni 2009. Diambil dari :
http://budiawan-hutasoit.blogspot.com.
(23 November 2012)
b. Supermilan.2009.Curhat
Berujung Petaka Kasus Prita Mulyasari vs rumah sakit omni internasional, Juni
2009. Diambil dari :
http://supermilan.wordpress.com. (23 November 2012)
c. Prayudaherly.2012.Etika
dan Hukum Dalam Teknologi, Juni 2012. Diambil dari :
http://prayudaherly.blogspot.com. (22 september 2012)
d. Silmya.2011.cyberbullying,
Desember 2011. Diambil dari :
http://silmya,wordpress.com. (9 Oktober 2012)
e. Prof
Mulyadi, Guru Besar Hukum Pidana, Ancaman Pencemaran Nama Baik Mengintai, Mei
2005. Diambil dari :
www.hukumonline.com. (23 November 2012)
Sumber : http://hafizucus2.blogspot.com/
Komentar
Posting Komentar